Minggu, 07 Desember 2014

Kesibukan VS Kebersamaan


Ternyata Kurikulum 2013 sukses menyita sebagian besar waktu, pikiran, dan tenagaku. Huh !
Tapi, kalau dipikir-pikir kesibukan yang seperti itu bagus juga. Terutama untuk orang yang punya bakat sering terserang perasaan gundah atau gelisah tak menentu (atau dalam bahasa sekarang: galau!). Dan mungkin saya termasuk di dalamnya.
Dalam kehidupan pernikahan saya, saya mencatat ‘penyakit’ itu sangat mengganggu apalagi di saat istri saya jadi semakin manja karena masa kehamilannya. Sering saya menjadi terlarut dan merenunginya terus-menerus. Betapa susahnya istri saya menjalani masa kehamilan dan melakukan kewajiban sebagai istri yang jauh dari suami harus kuliah, mengajar, mengurusi kedua anak saya, menjaga rumah dan merawat orang tua.
Syukur alhamdulillah, ditengah kesibukannya mengajar, kuliah, belajar, dan sebagainya. Beliau sama seklai tidak mengeluh dengan keadaan ini, bahkan kami jarak memisahkan kami tidak lebih dari ujian yang kami aggap adalah ibadah mencari ridho Allah SWT. Mengobrol tak harus setiap hari. Komunikasi via telephon kami lakukan secara intennsif. Sekedar melepas kangen dan berbagi cerita tentang keadaan kami masing masing.
Bertemu sekali dalam seminggi terasa sebagai anugerah yang luar biasa untuk kami .
Banyak komentar kepada istri saya tercinta terkait kondisi kami ini. Mulai dari candaan sampai tanggapan serius.  Yang tersering dan paling membingungkanku adalah pernyataan-pernyataan penuh rasa kasihan atau waswas seperti contoh berikut.
1.       “Kasihan amat suaminya nggak di rumah, anak sudah dua dan sedang mengandung pula” itu salah satunya
Alhamdulillah kami selalu saling mendampingi 24 jam sehari, 7 hari seminggu, 12 bulan setahun, tanpa bergantung pada kuantitas tatap muka atau mengobrol! Itu jawaban kami
2.       “Kalo saling berjauhan gitu kan banyak godaan. Kalo masing-masing tergoda sama yang lain gimana? Itu salah satunya
InsyaAllah kami saling percaya dan Allah yang Maha Menjaga ! Itu jawaban kami

Dengan adanya siklus hari-hari saat tinggal seatap dan hari-hari saat berjauhan, Kami “saya dan istri” menikmati begitu banyak hal. Aku sangat terbiasa untuk sedih dan khawatir setiap saya pergi ke Cikarang, dan terbiasa pula untuk gembira berbunga-bunga setiap jadwal pulang kampung.
Begitu pula dengan istri saya. Setelah beberapa lama tidak bertemu, tingkahnya saat bertemu kembali dengan saya tak berbeda dari ekspresi antusias dan kebahagiaan sederhana seorang istri. Nah, jadi di mana letak kasihannya? Bukankah kami pasangan yang sangat beruntung dan akan menjadi tak tahu diri kalau tak mensyukurinya? (Maka nikmat mana lagi yang kau dustakan, hai manusia!)
Saat-saat akan berpisah dan bertemu kembali selalu menjadi momen istimewa bagi kami. Sementara itu, masa saat berjauhan di antaranya pun terasa sebagai nikmat dan berkah tersendiri. Kami tidak hanya sama-sama mendapat kesempatan untuk berdikari dan fokus berkarya di bidang masing-masing.
Banyak berjauhan dan punya kesibukan masing-masing tidak pernah membuat saya maupun istri merasa bahwa kami kurang memiliki kebersamaan. Dalam kesibukan masing-masing, sejauh apapun kami terpisah secara geografis, kami selalu merasa menemani dan ditemani satu sama lain. Dan saya rasa, mungkin ini ada hubungannya dengan momen setiap akan berpisah.
“Abi  hati-hati lho ya, nggak boleh jaga kesehatan, makan teratur, tidur jangan terlalu malam,  Nggak boleh banyak makan mie instan ! Itu membahayakan diri sendiri dan orang lain. Nanti kalau ada….” Kutipan ini adalah contoh ucapan yang sering disampaikan istri padaksaya sebelum kami berpisah.
Bentuk kekhawatirannya yang mungkin bagi orang lain berlebihan (karena diucapkan berulang-ulang dan panjang lebar) inilah yang menjadi bekal bagiku selama berjauhan dengannya. Pesan itu membuat saya merasa nyaman sekali di hati dan perasaan.
Aku, tentu saja, jauh lebih cerewet dan lebay: “Aduuh nda jauh dari abi! Bunda juga jaga kesehatan bunda dan dede yang ada di perut, banyak istrihata, selalu berfikir positif, makan buah sama sayurnya dibanyakin, dong! Vitaminnya jangan lupa! Kalo bisa jangan sampe minum obat tapi kalo udah terpaksa gpp dsb….blablabla…..
Dan karena saya bisa memaksimalkan kemampuank saya untuk mengoceh terus jika tidak dihentikan, tak ada cara lain bagi istri saya selain berjanji memenuhi permintaank saya tersebut satu per satu…hahhaha. Saat berjauhan, kami sudah sama-sama tenang. Saya tenang karena telah memberikan seribu pesan (meskipun akhirnya hanya dilaksanakan satu-dua!), sementara istri saya tenang karena melihat saya ada bersamanya melalui seperangkat doa panjang.
Jadi, terima kasih atas perhatiannya. Tak perlu kasihan, karena kami orang-orang yang diberi nikmat. Tak perlu waswas berlebihan, karena insyaAllah kami sepenuhnya sadar atas ujian yang datang bersama nikmat itu dan menyerahkannya kembali padaNya. Kami suami istri yang selalu bersama, tak pernah terpisahkan. Ini tak ada hubungannya dengan kuantitas pertemuan fisik, karena sang hatilah yang bertugas. Anugerah terindah dari Allah SWT untuk kami sejak 10 tahun lalu. Alhamdulillah
Salam bahagia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar