Kesibukan
VS Kebersamaan
Ternyata
Kurikulum 2013 sukses menyita sebagian besar waktu, pikiran, dan tenagaku. Huh
!
Tapi,
kalau dipikir-pikir kesibukan yang seperti itu bagus juga. Terutama untuk orang
yang punya bakat sering terserang perasaan gundah atau gelisah tak menentu
(atau dalam bahasa sekarang: galau!). Dan mungkin saya termasuk di dalamnya.
Dalam
kehidupan pernikahan saya, saya mencatat ‘penyakit’ itu sangat mengganggu apalagi
di saat istri saya jadi semakin manja karena masa kehamilannya. Sering saya menjadi
terlarut dan merenunginya terus-menerus. Betapa susahnya istri saya menjalani
masa kehamilan dan melakukan kewajiban sebagai istri yang jauh dari suami harus
kuliah, mengajar, mengurusi kedua anak saya, menjaga rumah dan merawat orang
tua.
Syukur alhamdulillah, ditengah kesibukannya mengajar, kuliah, belajar,
dan sebagainya. Beliau sama seklai tidak mengeluh dengan keadaan ini, bahkan kami
jarak memisahkan kami tidak lebih dari ujian yang kami aggap adalah ibadah
mencari ridho Allah SWT. Mengobrol tak harus setiap hari. Komunikasi via
telephon kami lakukan secara intennsif. Sekedar melepas kangen dan berbagi
cerita tentang keadaan kami masing masing.
Bertemu
sekali dalam seminggi terasa sebagai anugerah yang luar biasa untuk kami .
Banyak
komentar kepada istri saya tercinta terkait kondisi kami ini. Mulai dari
candaan sampai tanggapan serius. Yang tersering dan paling
membingungkanku adalah pernyataan-pernyataan penuh rasa kasihan atau waswas
seperti contoh berikut.
1.
“Kasihan amat suaminya nggak di rumah, anak
sudah dua dan sedang mengandung pula” itu salah satunya
Alhamdulillah kami selalu saling mendampingi 24 jam
sehari, 7 hari seminggu, 12 bulan setahun, tanpa bergantung pada kuantitas
tatap muka atau mengobrol! Itu jawaban kami
2.
“Kalo saling berjauhan gitu kan banyak
godaan. Kalo masing-masing tergoda sama yang lain gimana? Itu salah satunya
InsyaAllah kami saling percaya dan
Allah yang Maha Menjaga ! Itu jawaban kami
Dengan
adanya siklus hari-hari saat tinggal seatap dan hari-hari saat berjauhan, Kami “saya
dan istri” menikmati begitu banyak hal. Aku sangat terbiasa untuk sedih dan
khawatir setiap saya pergi ke Cikarang, dan terbiasa pula untuk gembira
berbunga-bunga setiap jadwal pulang kampung.
Begitu
pula dengan istri saya. Setelah beberapa lama tidak bertemu, tingkahnya saat
bertemu kembali dengan saya tak berbeda dari ekspresi antusias dan kebahagiaan
sederhana seorang istri. Nah, jadi di mana letak kasihannya? Bukankah kami
pasangan yang sangat beruntung dan akan menjadi tak tahu diri kalau tak
mensyukurinya? (Maka nikmat mana lagi yang kau dustakan, hai manusia!)
Saat-saat
akan berpisah dan bertemu kembali selalu menjadi momen istimewa bagi kami.
Sementara itu, masa saat berjauhan di antaranya pun terasa sebagai nikmat dan
berkah tersendiri. Kami tidak hanya sama-sama mendapat kesempatan untuk
berdikari dan fokus berkarya di bidang masing-masing.
Banyak
berjauhan dan punya kesibukan masing-masing tidak pernah membuat saya maupun istri
merasa bahwa kami kurang memiliki kebersamaan. Dalam kesibukan masing-masing,
sejauh apapun kami terpisah secara geografis, kami selalu merasa menemani dan
ditemani satu sama lain. Dan saya rasa, mungkin ini ada hubungannya dengan
momen setiap akan berpisah.
“Abi
hati-hati lho ya, nggak boleh jaga
kesehatan, makan teratur, tidur jangan terlalu malam, Nggak boleh banyak makan mie instan ! Itu
membahayakan diri sendiri dan orang lain. Nanti kalau ada….” Kutipan ini adalah
contoh ucapan yang sering disampaikan istri padaksaya sebelum kami berpisah.
Bentuk
kekhawatirannya yang mungkin bagi orang lain berlebihan (karena diucapkan
berulang-ulang dan panjang lebar) inilah yang menjadi bekal bagiku selama
berjauhan dengannya. Pesan itu membuat saya merasa nyaman sekali di hati dan
perasaan.
Aku,
tentu saja, jauh lebih cerewet dan lebay:
“Aduuh nda jauh dari abi! Bunda juga jaga kesehatan bunda dan dede yang ada di
perut, banyak istrihata, selalu berfikir positif, makan buah sama sayurnya
dibanyakin, dong! Vitaminnya jangan lupa! Kalo bisa jangan sampe minum obat
tapi kalo udah terpaksa gpp dsb….blablabla…..
Dan
karena saya bisa memaksimalkan kemampuank saya untuk mengoceh terus jika tidak
dihentikan, tak ada cara lain bagi istri saya selain berjanji memenuhi
permintaank saya tersebut satu per satu…hahhaha. Saat berjauhan, kami sudah
sama-sama tenang. Saya tenang karena telah memberikan seribu pesan (meskipun
akhirnya hanya dilaksanakan satu-dua!), sementara istri saya tenang karena
melihat saya ada bersamanya melalui seperangkat doa panjang.
Jadi,
terima kasih atas perhatiannya. Tak perlu kasihan, karena kami orang-orang yang
diberi nikmat. Tak perlu waswas berlebihan, karena insyaAllah kami sepenuhnya
sadar atas ujian yang datang bersama nikmat itu dan menyerahkannya kembali
padaNya. Kami suami istri yang selalu bersama, tak pernah terpisahkan. Ini tak
ada hubungannya dengan kuantitas pertemuan fisik, karena sang hatilah yang
bertugas. Anugerah terindah dari Allah SWT untuk kami sejak 10 tahun lalu. Alhamdulillah…
Salam
bahagia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar